Selasa, 27 November 2012

LANDASAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM


Pendahuluan


Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 (Mulyasa, 2007 : 151); Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah yang berpedoman pada standar isi dan standar kompetensi lulusan, serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP). Salah satu prinsip pengembangan KTSP adalah ”berpusat pada potensi, perkembangan, serta kebutuhan peserta didik dan lingkungannya”, kurikulum mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan pada tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Mauritz Johnson (1977 : 130) mengemukakan bahwa kurikulum ”prescribes (or at least anticipates) the result of instruction”. Kurikulum merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan petunjuk tentang jenis, lingkup dan hierarki urutan isi serta proses pendidikan. Pendidikan berisi suatu interaksi antara pendidik dengan terdidik (anak didik) dalam upaya membantu anak didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi antara pendidik dengan anak didik ini merupakan
interaksi pendidikan. Interaksi pendidikan tersebut dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, lingkungan sekolah ataupun lingkungan masyarakat. Interaksi pendidikan dalam lingkungan keluarga dapat terjadi setiap saat, setiap kali orang tua bertemu, bekerjasama atau bergaul dengan anak-anaknya. Pada saat demikian banyak perilaku dan perlakuan yang tanpa direncanakan dan tanpa disadari diperlihatkan orang tua. Orang tua menjadi pendidik tanpa dipersiapkan secara formal, tetapi lebih karena statusnya sebagai ayah dan ibu. Dengan demikian, mungkin saja sebagian besar dari mereka belum siap untuk melaksanakan tugas sebagai pendidik. Pendidikan tersebut tidak memiliki kurikulum yang formal, dan tidak memiliki kurikulum tertulis.
Interaksi pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan rancangan yang matang, yakni mengajar dengan tujuan yang jelas, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilih dan dirancang secara cermat. Guru melakukan interaksi pendidikan secara berencana dan sadar. Dalam lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, dan telah ada kurikulum tertulis. Guru melaksanakan tugas mendidik secara formal.
Interaksi pendidikan dalam lingkungan masyarakat terjadi dengan berbagai bentuk interaksi pendidikan. Bentuk interaksi pendidikan yang terjadi mulai dari yang sangat formal mirip dengan pendidikan di sekolah, dalam bentuk kursus-kursus sampai dengan yang sangat kurang formal seperti ceramah dan saresehan. Gurunya bervariasi, dari yang memiliki latar belakang pendidikan khusus sebagai guru, sampai yang melaksanakan tugas guru karena pengalaman. Kurikulumnya juga bervariasi, dari yang memiliki kurikulum secara formal dan tertulis sampai dengan yang hanya ada pada pikiran penceramah atau pendorong saresehan.
Kurikulum sebagai rancangan dari pendidikan, mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat begitu pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan di dalam perkembangan kehidupan manusia, maka pengembangan kurikulum tidak dapat sembarangan. Pengembangan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Salah satu landasan yang berkaitan dengan peranan anak dalam pengembangan kurikulum adalah landasan psikologis.
Pentingnya Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Kurikulum sebagai rancangan dari pendidikan, mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil daripada pendidikan. Mengingat begitu pentingnya peranan kurikulum dalam pendidikan dan di perkembangan kehidupan manusia, maka pengembangan kurikulum tidak dapat  dirancang sembarangan. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) membutuhkan landasan yang kuat, didasarkan atas hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Salah satu landasan yang berkaitan dengan peranan anak dalam pengembangan kurikulum adalah landasan psikologis. Implikasi psikologis merupakan salah satu landasan pengembangan kurikulum, secara khusus implikasi psikologis bagi guru membantu guru sebagai desainer, developer dan sekaligus sebagai barisan paling depan yakni sebagai implementor kurikulum.
Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Adanya kurikulum diharapkan dapat membentuk tingkah laku baru berupa kemampuan atau kompetensi aktual dan potensial dari setiap peserta didik, serta kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki dalam waktu yang relatif lama.
Psikologi merupakan salah satu landasan dalam pengembangan kurikulum yang harus dipertimbangkan oleh para pengembang. Hal ini dikarenakan posisi kurikulum dalam proses pendidikan memegang peranan yang sentral. Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar manusia, yaitu antara anak didik dengan pendidik, dan juga antara anak didik dengan manusia-manusia lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kondisi psikologisnya. Menurut        Nana Syaodih Sukmadinata (2006 : 50)  ”kondisi psikologis adalah kondisi karakteristik psikofisik manusia sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksinya dengan lingkungan”. Perilaku-perilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang nampak maupun yang tidak nampak; baik perilaku kognitif, afektif maupun psikomotor. Interaksi yang tercipta didalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis dari anak didik dan pendidik. Interaksi pendidikan di rumah berbeda dengan di sekolah. Interaksi antara anak dengan guru pada tingkat sekolah dasar berbeda dengan pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas.
Anak didik merupakan individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Tugas utama guru adalah membantu mengoptimalkan perkembangan peserta didik tersebut. Oleh karena itu, melalui penerapan landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yang dilakukan dapat menyesuaikan dengan hakikat peserta didik. Penyesuaian yang dimaksud berkaitan dengan segi materi atau bahan yang harus disampaikan, penyesuaian dari segi proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.
Apa yang dididikan dan bagaimana cara mendidiknya perlu disesuaikan dengan tingkat dan pola-pola perkembangan anak. Karakteristik perilaku pada berbagai tingkat serta pola-pola perkembangan anak menjadi bagian dari psikologi perkembangan. Sementara itu, model-model atau pendekatan pembelajaran mana yang dapat memberikan yang optimal, dan bagaimana proses pelaksanaannya memerlukan studi yang sistematik dan mendalam. Studi yang demikian merupakan bidang pengkajian dari psikologi belajar. Dengan demikian, paling tidak ada dua bidang psikologi yang harus mendapat perhatian para pengembang kurikulum, yakni psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan terutama di dalam proses pemilihan dan penyusunan isi pendidikan serta proses mendidik atau mengajar.  Hal ini dimaksudkan agar anak didik dapat dilayani secara proporsional.
Psikologi Perkembangan dalam Pengembangan Kurikulum
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan sel telur dengan spermatosoid sampai dengan masa dewasa. Informasi tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik dan studi kasus. Individu apakah itu seorang anak ataupun orang dewasa, merupakan kesatuan jasmani-rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan menunjukkan karakteristik-karakteristik tertentu yang khas. Individu manusia adalah sesuatu yang sangat kompleks tetapi unik, yakni memiliki banyak aspek seperti aspek jasmani, intelektual, sosial, emosional, moral dan sebagainya, tetapi keseluruhannya membentuk satu kesatuan.  Pandangan tentang anak sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan di samping persamaannya. Implikasi terhadap pengembangan kurikulum menurut Rudi Susilana dkk. (2006 : 22) yaitu:
a.       Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhannya.
b.      Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (Program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
c.       Kurikulum di samping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan selanjutnya.
d.      Kurikulum memuat tujuan–tujuan yang mengandung pengetahuan, nilai atau sikap, dan keterampilan yang menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin.
Implikasi lain dari pengetahuan tentang anak terhadap pelaksanaan pembelajaran (actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan tingkah laku peserta didik.
b.      Bahan atau materi yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak.
c.       Strategi belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
d.      Media yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
e.       Sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari satu tahap ke tahap yang lainnya dan dijalankan secara terus menerus.
Psikologi Belajar dalam Pengembangan Kurikulum
Psikologi belajar merupakan studi tentang bagaimana individu belajar. Secara sederhana belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku, baik yang berbentuk kognitif, afektif maupun psikomotor yang terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Gagne (1965 :5) merumuskan “Learning is  a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth”. Menurut Gagne, perubahan tersebut berkenaan dengan disposisi atau kapabilitas individu. Sementara itu, menurut Hilgard dan Bower (1966) dinyatakan bahwa perubahan itu terjadi karena individu berinteraksi dengan lingkungan, sebagai reaksi terhadap situasi yang dihadapinya.
Mengetahui tentang psikologi belajar merupakan bekal bagi para guru dalam menjalankan tugas pokoknya, yaitu membelajarkan anak.  Menurut     Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt (1980), psikologi atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan kedalam tiga rumpun, yaitu: teori Disiplin Mental atau teori Daya (Faculty theory), Behaviorisme, dan  Cognitive Gestalt Field atau organismik.
Menurut teori Daya (Disiplin Mental), sejak kelahirannya (heredities)anak telah memiliki potensi-potensi atau daya-daya tertentu (Faculties) yang masing-masing memiliki fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir daya mencurahkan pendapat daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Karena itu pengertian mengajar menurut teori ini adalah melatih peserta didik dalam daya-daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hafalan dan latihan.
Rumpun teori Behavorisme mencakup tiga teori, yaitu teori Koneksionisme atau teori Asosiasi, teori Kondisioning, dan teori Reinforcement (Operent Conditioning), Rumpun teori Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan oleh lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat). Teori Koneksionisme atau teori Asosiasi adalah teori tentang kehidupan yang tunduk kepada hukum stimulus-respon atau aksi-reaksi. Belajar pada dasarnya merupakan hubungan antara stimulus-respon. Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon sebanyak-banyaknya.
Teori Cognitive Gestalt Field atau organismik mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna dari pada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia dianggap sebagai mahluk organisme yang melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon. Teori ini banyak mempengaruhi praktek pengajaran di sekolah karena memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Belajar berdasarkan keseluruhan
Dalam belajar siswa mempelajari bahan pelajaran secara keseluruhan, bahan-bahan dirinci ke dalam bagian-bagian itu kemudian dipelajari secara keseluruhan, dihubungkan satu dengan yang lain secara terpadu.
2.   Belajar adalah pembentukan kepribadian
Anak dipandang sebagai makhluk keseluruhan, anak dibimbing untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan secara berimbang. Ia dibina untuk menjadi manusia seutuhnya yaitu manusia yang memiliki keseimbangan lahir dan batin antara pengetahuan dengan sikapnya dan antara sikap dengan keterampilannya.
3. Belajar berkat pemahaman
Menurut aliran Gestalt bahwa belajar itu adalah proses pemahaman. Pemahaman mengandung makna penguasaan pengetahuan.


4. Belajar berdasarkan pengalaman
Belajar itu adalah pengalaman.Proses belajar itu adalah bekerja, mereaksi, memahami dan mengalami.Dalam belajar itu siswa aktif. Siswa mengolah bahan pelajaran melalui diskusi, tanya jawab, kerja kelompok, demonstrasi, survey lapangan, karyawisata atau belajar membaca di perpustakaan.
5. Belajar adalah suatu proses perkembangan
Ada tiga teori yang perlu diketahui guru, yaitu: perkembangan anak merupakan hasil dari pembawaan, perkembangan anak merupakan hasil lingkungan, dan perkembangan anak merupakan hasil keduannya.
6. Belajar adalah proses berkelanjutan
Belajar itu adalah proses kegiatan interaksi antara dirinya dengan lingkungannya yang dilakukan dari sejak lahir sampai menginggal, karena itu belajar merupakan proses berkesinambungan.
Penutup
Implikasi dari psikologis merupakan salah satu landasan pengembangan kurikulum yakni kepada para guru sebagai desainer, developer dan sekaligus sebagai barisan paling depan yakni sebagai implementor kurikulum. Secara teoritis, seorang guru harus/berkewajiban mengenal siswanya, seperti diungkapkan oleh Lan Reece dan Stephen Walker (1997), bahwa semua siswa adalah individu-individu. Tidak ada dua siswa yang belajar dengan cara yang sama. Jadi, meskipun guru memiliki sejumlah siswa dalam kelas, mereka semua merupakan individu sendiri-sendiri. Mereka memiliki harapan masing-masing, dan penting bagi guru untuk memenuhi harapan mereka. Siswa memiliki harapan berdasarkan pada pengalaman belajar sebelumnya. Tugas guru adalah mengetahui cara belajar mengajar pilihan siswa, untuk mengkonsentrasikan cara belajar mengajar yang terbukti sukses dan memperbaiki yang belum berhasil. Menurut Herbert Khol (1986), guru yang baik memiliki ciri, 1) rasa ingin tahu yang kuat mengenai kehidupan dan kebudayaan siswanya dan berkeinginan  untuk mengeksplorasi dunia mereka (para siswa); 2)  memilliki rasa cinta yang mendalam terhadap semua siswanya dan senang menghabiskan waktu bersama siswanya. Pendapat lainnya dari Nana Syaodih (2003) bahwa siswa yang melakukan kegiatan belajar adalah individu, baik didalam kegiatan klasikal, kelompok maupun individual. Proses dan kegiatan belajarnya tidak dapat dilepaskan dari karakteristik, kemampuan dan perilaku individualnya. Dengan pemahaman yang lebih luas dan mendalam tentang kondisi para siswanya, seorang guru diharapkan mampu menciptakan interaksi pendidikan, perlakuan mendidik yang lebih efektif dan efisien.
Sebagaimana diungkapkan Herbert Khol yang harus diperhatikan oleh seorang guru ketika ia merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pengajaran, di antaranya:  Berorientasi pada siswa (student oriented); Mencintai siswanya dan mencintai pekerjaannya. Kemudian, Lan Reece & Stephen Walker mengungkapkan bahwa pemilihan strategi mengajar sangat ditentukan oleh gaya belajar siswa. Pada akhirnya, gaya belajar siswa tersebut menjadi kebutuhan dan karakteristik saat belajar. Oleh karena itu, dalam pemilihan strategi mengajar, seorang guru harus menghubungkan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa. Selanjutnya diungkapkan, bahwa kemampuan siswa sangat berhubungan dengan temperamen dan sikap-sikap khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, guru perlu untuk mempertimbangkan jangka waktu perhatian siswa dan kemampuan mereka untuk menguasai tujuan yang telah ditetapkan. Senada dengan apa yang diungkapkan di atas, Mohamad Surya (2003) mengemukakan bahwa guru memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru dituntut harus mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar menjadi perilaku belajar yang efektif dalam diri siswa. Di samping itu, guru dituntut pula untuk mampu menciptakan situasi belajar-mengajar yang kondusif.
Berdasarkan uraian di atas, baik secara teoritis maupun secara empiris atau pelaksanaan dalam praktek, tidak ada alasan bagi seorang guru dalam menjalankan tugasnya  untuk tidak mengenal siswanya. Artinya, bagi seorang guru, mengenali siswa itu harus menjadi prioritas utama. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi dalam menyusun strategi pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa secara individu. Dengan mengenali siswa secara baik, bagi seorang guru, merupakan modal dasar guna mencapai kelancaran dan sekaligus kesuksesan guru yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya, yakni melayani para siswanya agar terjadi proses belajar  secara optimal.

Makalah Pengantar Kurikulum Kelompok 2
Dosen: Dr. Khaerudin, M.Pd.


Eko Agus Setiawan. 1215121098
TP UNJ 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar